
Bio-intelektual dan Perjuangan Mohammad Natsir(Bagian III)
Analisis Rekonstruktif Islam Dasar Negara
Oleh Shofwan Karim
Walaupun pada 2 April 1952 dalam pidatonya di Intstitute of International Affairs, Pakistan, Natsir mengakui Sila Pertama Pancasila merupakan landasan spiritual Bangsa Indonesia dan menganggap Pancasila sebagai hasil pemikiran ummat Islam Indonesia yang cemerlang, tetapi di dalam Sidang Konstituante itu Natsir tetap memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara. Pergeseran sikap itu dapat diikhtisarkan sementara atas rekonstruksi pendapat Munawir Sjadzali, Rosihan Anwar dan Lukman Harun (alm) Berdasarkan wawancara Penulis terhadap tiga tokoh ini di Jakarta, Mei 1995 Mereka mengajuklan tiga alasan.
Pertama, Natsir merasa bahwa kewajiban memperjuangkan Islam sebagai Dasar negara RI pada saat yang tepat yaitu Sidang Konstituante yang memang merumuskan dasar dan falsafah negara. Ini tidak berarti Natsir menolak kebenaran Pancasila. Apalagi pada tahun 1950-an itu Natsir pernah menulis bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Kedua, Natsir merasa berkewajiban memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara karena hal itu merupakan keputusan resmi Masyumi di mana ia menjadi Ketua Umumnya. Jadi hal itu merupakan amanah partai yang mesti diperjuangkan. Sebagai pemimpin yang demokratis maka Natsir merasa Konstituante adalah medan demokratis untuk memperjuangan aspirasi partainya.
Ketiga, Natsir mencoba mengajukan tawaran yang paling optimal yaitu memperjuangkan Islam menjadi dasar negara. Kalau hal itu tidak memungkinkan, maka sasaran akhirnya adalah menjadikan Islam sebagai agama negara sebagai kira-kira yang dianut Negara Malaysia sekarang ini. Jadi ibarat orang berdagang, ditawarkan harga yang tinggi (Islam menjadi Dasar Negara), kalau hal itu tidak terkabul maka menjadikan Islam sebagai agama negara sudah cukup lumayan. Lukman Harun mengaku hal yang terakhir ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan langsung kepada M. Natsir.
Selain ketiga kemungkinan argumentasi di atas dapat pula dianalisis suatu pandangan yang menyatakan bahwa bukan Pancasila yang ditolak Natsir, tetapi ia menolak pemikiran tokoh tertentu yang memberi tafsir Pancasila bebas atau netral agama. George Mc. T. Kahin, seorang Amerika ahli masalah revolusi Indonesia memandang masalah yang asasi dalam penginterpretasian Natsir tentang Tauhid adalah solidaritas untuk kebebasan, toleransi agama dan keadilan sosial. (Media Dakwah, Januari, 1995:66.) Bagi Natsir nilai ketuhanan yang dapat menentukan fluktuasi naik turunnya derjat manusia dan kemanusiaan, dan hal itu merupakan tujuan asasi Pancasila yang berdasarkan ketuhanan (agama). Wawasan konseptual Pancasila yang seperti itulah yang mendapat tempat di hati bangsa Indonesia yang mengakui adanya Tuhan terutama umat Islam. Realitas komposisi demografis yang menunjukkan maryoritas bangsa Indonesia adalah ummat Islam itu telah tak terbantahkan peranannya dalam perumusan dasar negara itu adalah mereka yang beragama Islam, maka mustahillah mereka menerima Pancasila yang bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang berlandaskan akidah Tauhid.
Lebih jauh M. Natsir menguraikan apa yang dimaksudnya itu dalam memberi justifikasi keislaman terhadap sila-sila dari Pancasila sebagai berikut:
1. Bagaimana mungkin Qur’an yang memancarkan Tauhid, akan terdapat apriori pertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara nilai Tauhid (QS. Al-Ikhlas) dalam Islam merupakan masalah fundamental dan basis keyakinan yang menjiwai setiap aktivitas umatnya. Maka muslim manakah yang mengakui ke Esa-an Allah akan menolak dasar negaranya yang meletakkan nilai Tauhid sebagai nilai utamanya
2. Bagaimana mungkin Qur’an yang menegakkan istilah islah bain al-nas sebagai dasar pokok yang harus ditegakkan oleh umat Islam, dapat a-priori bertentangan dengan apa yang disebut Kemanusiaan…? Sementara Islam mengajarkan bahwa orang yang tidak mempunyai kasih sayang kepada manusia, niscaya tidak pula dikasihi Allah (HR. Mutafaqqun ‘alaih). Maka Muslim manakah yang harus menjalin hubungan baik antar sesama manusia dan kasih terhadap sesama Islam, akan menolak dasar negaranya yang mengutamakan kemanusiaan?…
3. Bagaimana mungkin Qur’an yang mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan a-priori bertentangan dengan Persatuan?.. Sementara Islam mengajarkan umatnya untuk bersatu di bawah panji agama Allah dan di bawah bendera yang dasar negaranya dijiwai oleh nilai agamanya (QS.3:103). Maka muslim manakah yang cinta persatuan dan harap cinta Allah melalui kekuatan (persatuan), akan menolak dasr negara yang mengurtamakan persatuan?…
4. Bagaimanakah mungkin Qur’an yang memberantas sistem feodal dan pemerintahan istibdad namun mengutamakan musyawarah, dapat a-priori bertentangan dengan prinsip musyawarah (kedaulatan rakyat)?… Sementara Islam menyerukan pada umatnya untuk memusyawarahkan urusan dunianya (QS. Al-Syura:38) dengan meletakkan kebenaran, kebaikan dan kepentingan umat lebih utama dari kepentingan lainnya. Maka muslim manakah yang menolak kepentingan umat (orang banyak) demi kepentingan diri sendiri, dan adakah ia seorang muslim bila memutuskan persoalan berdasarkan kepentingan dan kekuasaan pribadi?…
5. Bagaimana mungkin Qur’an yang ajaran-ajarannya penuh dengan kewajiban menegakkan ‘adalah ijtimai’ah bisa a-priori bertentangan dengan dengan keadilan sosial?… Sementara Islam mengajarkan agar senantiasa berlaku adil dalam segala aspeknya(QS. Al-Maidah: 8) dan tidak menghendaki harta hanya berputar di kalangan orang kaya bahkan termasuk oarang celaka bagi yang suka menghitung harta (QS.al-Humazah:1-4) serta tergolong pendusta agama (QS.al-Ma’un:1-7). Maka muslim manakah yang tidak menerima konsep agamanya sebagai dasar negara untuk menegakkan keadialan sosial?.. dan mungkinkha ia seorang muslim bila masih melakukan diskriminasi?… (M. Natsir, , 1957:148).
Walaupun demikian, pada bagian lainnya Natsir berkata: “Tapi ini tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran-ajaran Islam. Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam”. Tentang sila pertama Pancasila, Natsir menekankan:
Berlainan soalnya, apabila sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya sekedar buah bibir, bagi orang-orang yang jiwanya sebenarnya sceptis dan penuh ironi terhadap agama; bagi orang ini dalam ayunan langkahnya yang pertama ini saja Pancasila itu sudah lumpuh. Apabila sila pertama ini, yang hakikatnya urat-tunggal bagi sila-sila berikutnya, sudah tumbang, maka seluruhnya akan hampa, dan amorph, tidak mempunyai bentuk yang tentu. Yang tinggal adalah kerangka Pancasila yang mudah sekali didpergunakan untuk menutup tiap-tiap langkah perbuatan yang tanpa sila, tidak berkesusilaan sama sekali. (Ibid: 149).
Penolakan pemahaman Pancasila sebagai yang telah dikedepankan Natsir di atas oleh kelompok yang menghendaki Pancasila berdasarkan pandangan duniawi dan manusiawi semata-mata yang bersifat sekuler dan netral agama, niscaya akan memberikan kekaburan arti dan isi Pancasila itu sendiri dan hal itu dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
(a)bertentangan dengan tujuan dari semua perumus Pancasila; (b)memerlukan perubahan letak setiap sila (sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukan sila pertama); (c)menafikan penjiwaan nilai ketuhanan kepada seluruh sila dari Pancasila; (d)seluruh aktivitas bangsa bukan lagi dijiwai nilai ketuhanan; (e)mengubah cara hidup, pemikiran dan cita-cita bangsa Indonesia dari mengutamakan kepentingan dunia dan akhirat kepada kepentingan duniawi semata-mata; (f)memberikan kekosongan jiwa kepada seluruh bangsa Indonesia dan membuka pintu kezaliman dari segala bidang; (g)menebar benih perpecahan dan kesengsaraan untuk memetik badai kehancuran; (h)akan menjauhkan manusia dari Tuhan, karena hidup berbangsa dipisahkan dari agama. Akibatnya sains, ekonomi, politik, psikologi, filsafat dan undang-undang serta seluruh aspek kehidpan manusia terpisah dari nilai-nilai moral, etika dan norma budaya berdasrkan agama. ( Media Dakwah, Loc. Cit.: 67).
Sebagai telah dimaklumi, perjuangan umat Islam melalui partai-partai Islam yang dimotori Masyumi dalam Sidang Konstituante telah gagal memperjuangkan Islam menjadi dasar negara. Soekarno secara sepihak telah mendekritkan kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959. Sidang Konstituante itu sendiri dianggap sebagian pihak mengalami jalan buntu. Sementara pihak lain menganggap sudah tercapai 90 persen kesepakatan dalam menentukan undang-undang dasar yang baru, kecuali soal dasar negara yang dimaksud yang belum tuntas. Sebelum dekrit tadi, seperti dimaklumi, tahun 1958 beberapa daerah bergolak antara lain dideklarasikannya PRRI 15 Februari 1958 di Sumatera.
Kenegarawanan Natsir dianggap beberapa pihak meredup ketika ia ikut PRRI di Sumatera. Kepemimpinannya di Masyumi dipegang oleh Mohammad Rum dan Prawoto Mangkusasmito yang tidak mau terlibat dengan pergolakan di daerah. Keikutsertaan Natsir dalam perjuangan PRRI, bagi sebagian kalangan menjadi tanda tanya. Apa yang menjadi motivasi sebenarnya tokoh yang terkenal sangat demokratis dan berfikir integratif serta republiken tulen dan unitarian mau berpihak kepada PRRI. Meskipun pertanyaan itu belum sempurna bisa terjawab dan masih membutuhkan penelitian yang cermat, namun dari apa yang dikemukakan berapa penulis seperti Siddiq Fadhil dan George Mc Turnan Kahin serta wawancara Tempo dapat menjadi pertimbangan.
Menurut Fadhil, penyertaan Natsir dalam PRRI harus dilihat sebagai suatu usaha menghalangi tindakan-tindakan tidak demokratik dan tidak konstituional yang dilakukan Soekarno. Pendapat lain, menurut Kahin, Natsir di dalam PRRI memberikan konstribusi terbesar dengan menjaga tetapnya PRRI berjuang dalam konteks negara kesatuan RI bukan untuk keluar dari RI apalagi bersifat sparatisme. Sementara pengakuan Natsir sendiri tentang keikutsertaannya dalam PRRI ini seperti disampaikan kepada Tempo yang dikutip kembali oleh Tempo 13 Feberuari 1993 adalah lantaran Presiden Soekarno–dengan Konsepsi “Presiden” -nya yang akan merombak struktur negara secara keseluruhan–telah melanggar konstitusi. Bung Karno bermaksud menguikut sertakan PKI dalam Kabinet, yang juga ditentang Bung Hatta.
Kemarahan Soekarno kepada Natsir tampaknya tidak proporsional. Hanya lantaran Natsir, Syafruddin Perwiranegara dan Burhanuddin Harahap berpihak kepada PRRI, dianggap Masyumi secara keseluruhan sudah makar dan dengan alasan itu Soekarno memberangus Masyumi dengan Kepres 200 tanggal 15 Agustus 1960 padahal Mohammmad Rum dan Kasman Singodimejo menyatakan Masyumi tidak berpihak kepada PRRI. Kepres itu merujuk kepada Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1959 dalam konsiderannya mengatakan bahwa sebagian tokoh-tokoh Masyumi terlibat dalam pemberontakan.
Tentang Masyumi dibubarkan atau membubarkan diri, menurut Yusril Ihza Mahendra adalah soal teknis semata. Karena meskipun sudah ada Kepres 200, tetapi pelaksanaan pembubaran Masyumi dilaksanakan oleh Masyumi itu sendiri. Walaupun bersifat teknis implikasinya sangat starategis. Karena di dalam Kepres 200 itu dinyatakan bahwa kalau dalam tempo tiga bulan Masyumi tidak membubarkan diri, maka Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebelum tiga bulan berakhir, Prawoto membubarkan Masyumi. Ibaratnya vonis hukuman mati dari Presiden tetapi pelaksanaan eksekusinya adalah oleh Masyumi sendiri. Jadi meskipun Masyumi bubar, tetapi bukan Partai terlarang. Ini suatu dalil yang tepat untuk menolak sikap Orba dulu yang menyamakan Masyumi dengan PKI sebagai partai terlarang.
Ketika rekonsiliasi nasional tercapai dengan selesainya PRRI dan semua yang terlibat PRRI menerima amnesti dan abolisi, maka Natsir yang seyogyanya bebas, tetap dipenjarakan oleh Soekarno dengan status karantina politik di Batu, Jatim tahun 1960-1962 kemudian dipindahkan ke RTM Jakarta 1962.
.
BERPOLITIK MELALUI DAKWAH (1966-1993)
Beliau baru bebas secara fisik dari penjara Soekarno oleh Soeharto namun kembali terkarantina dalam makna politik karena tidak boleh berpolitik praktis. Beliau aktif dalam forum petisi 50 pada tahun 1980, akibatnya lebih parah. Sebelum bergabung dengan kelompok Petisi 50 itu, Natsir masih bisa aktif menulis, bicara dan berpergian. Setelah bergabung dengan kelompok petisi itu Natsir dicekal ke luar negeri, bicara dan menulis. Dengan demikian pergantian rezim Orla ke Orba bagi kehidupan dan peruangan Natsir tidak banyak maknanya, terutama dalam kifrah politik praktis. Pada hakikatnya beliau meskipun secara fisik telah lepas dari penjara Orla, namun secara psikhis dan rohaniah beliau tetap di dalam “penjara” Orba.
Meskipun begitu di awal Orba, Natsir tetap vokal mengedepankan pemikiran dan suara hati nuraniya. Di antaranya bahwa Orba harus mempunyai karakteristik tersendiri berbeda dengan sistem Orde Lama (Orla) yang diktatur, walaupun resminya diberi nama “demokrasi terpimpin”. Selanjutnya ia berkata:
“Oleh karena itu, ciri karakteristik sistem Orde Baru yang kita tuju, yang harus radikal, berlainan dari sistem diktatur itu tentulah ciri demokrasi, yakni demokrasi dalam kerangka Undang-Undang Dasar Proklamasi kita, 1945, demokrasi di bawah hukum”. (, M. Natsir, 1987:2).
Walaupun Natsir menekankan pentingnya hukum, namun manusia penegak hukum sangat pula menentukan. Ia berkata:
“Akan tetapi, sebagaimana kita sadari semata-mata undang-unang tidak dapat merobah manusia. “Mere law doen’t change man”. Sedangkan yang menentukan ciri yang hakiki dari satu sistem atau struktur kenegaraan, akhirnya ialah unsur manusianya, human element-nya, bukan pula semata-mata hasil perundang-undangan pada sesuatu masa. (Ibid. : 3).
Terhadap hal itu Natsir mencontohkan betapa Orla dan Orba, keduanya berikrar memegang UUD 1945. Produk undang-undang dasar yang sama, bisa digunakan oleh dua “orde” yang berlawanan, untuk melegalisir tindakan-tindakannya masing-masing. Pada akhirnya manusianya lebih menentukan. Katanya, “in the last analysis, it is the human being that counts”. Ia menyebut hal itu sebagai “undang-undang baja sejarah”, yang berlaku dari zaman ke zaman. Dalam istilah agama Islam, disebut sunnatullah, yang dilukiskan dalam al-Qur’an surat Al-Ra’ad 11, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri“. (Ibid.,h.4.)
Walaupun secara politik Natsir tidak dapat bergerak dalam makna praktis, namun ia pernah diminta bantuan oleh Soeharto untuk memulihkan hubungan Indonesia dan Malaysia. Untuk itu Natsir menulis surat khusus kepada Tengku Abdul Rahman yang dibawa Ali Moertopo, pembantu dekat Soeharto. Langsung atau tidak, surat itu nampaknya turut memberi andil terhadap surutnya konfrontasi kedua negara, Indonesia-Malaysia sejak 1963 di masa pemerintahan Soekarno. Pada 1967 hubungan kedua negara mencair kembali. Begitu pula ketika pemerintah Soeharto kesulitan dalam meminta bantuan modal asing, Natsir kembali berinisiatif memuluskan bantuan dari Jepang serta beberapa negara Timur Tengah untuk pembangunan Indonesia.
Keinginan Natsir untuk berkiprah kembali di bidang politik di masa Orba, pernah dicoba. Masyumi partai yang pernah jaya dan besar di tangan Natsir tahun 1950-an telah dicoba untuk dihidupkan kembali. Tetapi pemerintah Soeharto tidak memberikan peluang untuk merehabilitasi partai umat Islam ini. Agaknya hal-hal inilah yang membuat Natsir memilih medan dakwah. Meskipun ada yang berpendapat Natsir sebenarnya tetap “berpolitik” dalam medan dakwah itu, namun secara kategorik beliau adalah mujahid dakwah. Bersama-sama tokoh ummat yang sehaluan dengannya beliau mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967.
(Bersambung ke Bagian IV)