
Bio-intelektual dan Perjuangan Mohammad Natsir(BAGIAN IV/HABIS
HATI NURANI DAN PEMANDU UMMAT
Oleh Shofwan Karim
Pengabdian di bidang dakwah ini bukan dalam makna simbol tetapi secara substantif dan komprehensif baik lisan, tulisan dan bil-hal atau amaliah sosial terutama pendidikan dan kesehatan. Di samping itu Natsir melalui DDII terus mengirim da’i ke berbagai pelosok tanah air terutama daerah terisolir, terpencil dan transmigrasi. Sejalan dengan itu terus membangun Masjid dan menerbitkan berbagai buku, majalah dan lain-lain. (Thohir Luth, 1999:58-62 ).
Atas dasar itulah, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa pemili han dakwah sebagai wadah perjuangan M. Natsir merupakan terobosan baru, perjuangan di Indonesia tidak hanya melalui jalur politik. Perjuangan melalui dakwah mempunyai dampak yang lebih panjang dan lebih lestari. (Harmonis, Maret 1993).
Di samping itu Natsir secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan utama dunia Islam internasional. Natsir sejak 1967 menjadi Wakil Presiden Kongres Muslim Sedunia atau Muktamar Alam Islami berkedudukan di Karachi dan anggota Majlis Ta’sisi Liga Muslim Sedunia atau Rabithah Alam Islami berkedudukan di Mekah dan juga Dewan Masjid Sedunia berkedudukan di Mekah.
DDII banyak menghidupkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat suku terisolir dan terasing, di pemukiman transmigrasi. Mahasiswa-mahasiswa yang potensial banyak yang memanfaatkan DDII di mana Natsir sebagai tokoh sentral memberikan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri terutama negara-negara Islam di Timur Tengah. Beberapa lembaga pendidikan Islam di dalam negeri, pembangunan Masjid, penyantunan orang tua, anak yatim, dan rumah sakit Islam Ibnu Sina di berbagai pelosok Tanah Air mendapat asuhan dan dorongan utama dari Natsir.
Di Sumatera Barat, hadirnya Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, berdirinya Akademi Bahasa Asing (AKABA) Bukittinggi, pengiriman da’i serta santunan sosial bagi mualaf di Kepulauan Mentawai serta pemukiman transmigrasi di Sitiung, Pasaman Barat, Silunang Pesisir Selatan mendapat perhatian penuh dari Natsir dengan dukungan penuh DDII Sumbar di bawah komando H. Mas’ud Abidin yang sangat giat pada beberapa dasawarsa akhir ini. Beberapa tahun lalu direncanakan berdirinya niversitas Mohammad Nastir dengan di dahului oleh Sekolah Tinggi Islam di Padang. Rencana itu tampaknya direalisasikan di Jakarta, dan kini Universitas Mohamamd Natsir sudah berdiri di ibukota republik ini. Dengan lembaga pendidikan tinggi itu, kemungkinan jiwa Natsir akan tetap tumbuh di di negerti ini.
Lebih dari itu Natsir tak pernah lelah menggembeleng kader-kader Islam yang ikhlas berjuang untuk kemulian dan ketinggian Islam. Terutama mantan aktivis Gerakan Pemuda Islam tahun 1950-an dan mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) yang selalu diserempet dan berjalan terseok-seok di masa penindasan politik Islam 1973-1985 era Orba. Terhadap kader-kader pemimpin Islam masa depan, Natsir bukanlah orang yang pesimis. Natsir mengganggap kader pemimpim tak bisa dicetak hanya dalam satu malam.
Pemimpin tidak bisa dicetak oleh kursus kepemimpinan, tidak ada universitas pemimpin, ijazah pemimpin. Pemimpin tak bisa di-SK-kan. Pemimpin tumbuh di lapangan . Yakni setelah berinteraksi dengan tantangan di dalam masyarakat. Pemimpin harus lahir dari kandungan ummat itu sendiri. Lahir dari lapangan. Ia percaya bahwa kader ummat dalam jumlah yang terbatas ada namun tidak suka gembar gembor. Pemimpin itu harus yang berakar ke bawah dan berpucuk ke atas. Inilah pemimpin yang diidamkan masyarakat. Proses itu lahir sendiri dalam suatu perjalanan sejarah. Hal itu disampaikannya pada acara syukuran 80 tahun Natsir yang dilaksanakan rekan dan sahabat pada 17 Juli 1988.
Dalam bagian pada wawancara dengan Panji Masyarakat Juli 1988 itu, Natsir mengibaratkan kader pemimpin itu adalah seperti harapan Nabi Zakaria yang mendambakan keturunan yang akhirnya Allah memberikan keturuan Nabi Yahya. Natsir optimis lahirnya Yahya-Yahya baru. Terutama menurutnya adalah dari Kampus dan dari LSM serta kelompok-kelompok pengajian dan pesantren. Yang penting menurut Natsir pada akhir 80-an itu, tercipta situasi yang kondusip yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berbicara.
Calon-calon pemimpin harus diuji oleh keadaan dan tantangan dalam masyarakatnya. Ujian itu ada yang baik dan ada yang buruk. Ujian atas kebaikan misalnya mendapat kesenangan harta dan pangkat, menurut Natsir bila lulus akan memberikan kelipatan dampak poisitif yang tinggi. Sebaliknya bila gagal, maka yang menanggung deritanya adalah diri, keluarga dan masyarakat. Sebailiknya ujian terhadap keburukan misalnya penderitaan atau kekurangan harta, bila sukses maka diri akan beruntung dan bila gagal yang menderita adalah dirinya pula dan tidak terlalu mengganggu kepada keluarga dan lingkungan.
Keterlibatan dalam politik dalam makna partisipasi pemikiran dan gagasan berulang pada diri Natsir pada 1980-an. Yang penting dicatat adalah ketika ia ikut menjadi penandatangan petisi 50 pada bulan Mei 1980. Petisi itu pada intinya mempertanyakan isi pidato Soeharto di Pekanbaru dan Bangkok yang dapat ditafsirkan bahwa Pancasila dan UUD 1945 identik dengan kekuasaan Soeharto. Artinya setiap upaya mengkritik dan mengoreksi Soeharto dapat diidentifikasi sebagai tidak setuju dengan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian menggangap ABRI sebagai kekuatan yang dapat digunakan Soeharto secara optimal untuk menindas setiap gerakan yang melawan kekuasaan yang diparalelkan dengan dirinya.
Pada dekade ini Natsir aktif melawan kehendak Orba yang ingin mengasastunggalkan Pancasila bagi semua organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan. Tampaknya dengan dibolehkannya organisasi Islam mencantumkan dalam anggaran dasarnya kalimat berakidah islam, perkara asas itu diterima dan keluarlah UU No. 5 untuk Orpol dan No. 8 untuk Ormas pada tahun 1985.
Begitu pula pada saat disebarkannya buku Pendidikan Moral Pancasila yang banyak mengandung ketidak sesuaian dengan pemikiran ummat Islam Indonesia antara lain menyatakan semua agama sama, Natsir secara gamblang mendudukan persoalan itu dan menolak apa yang tercantum dalam buku PMP tersebut dan pada akhirnya buku itu direvisi pemerintah.
Di dalam perjalanan hidup Natsir pada zaman Orba, beliau senantiasa dimusuhi dalam politik namun beliau tetap membantu pembangunan Indonesia. Sampai Allah memanggilnya Ahad, 6 Februari 1993, Mohammad Natsir yang pernah diberikan gelar Doktor Kehormatan oleh salah satu Univeristas di Malaysia tak pernah lepas dari perjuangan kepentingan bangsa Indonesia dan ummat Islam sedunia. Oleh karena itu pantaslah beliau dijuluki hati nurani dan pemandu ummat.
KESIMPULAN
Secara umum, kehidupan dan perjuangan Natsir dilalui dalam empat fase. Fase kelahiran dan remaja dilalui di tanah leluhurnya, Minangkabau dari 1908-1927. Pada fase ini merupakan pembentukan awal keperibadiannya yang ditempa oleh dinamika kehidupan sosial dan intelektual Islam yang sedang marak di awal abad ke-20. Saat ini wacana Islam di ranah Minang sedang bergelora antara Kaum Muda dan Kaum Tua baik secara lisan, tulisan maupun amaliah sosial, jurnalistik dan pendidikan. Natsir merasakan ketidakadilan perlakuan Belanda terhadap masyarakat. Misalnya karena orang tuanya pegawai rendah, Natsir tidak dapat masuk HIS pemerintah. Keadaan itu tidak membuatnya mundur. Dengan berbagai cara ditambah keuletan dan kecerdasan, Natsir berhasil menempuh masa ini dengan sukses.
Fase pertumbuhan dan perkembangan menuju kematangan dilaluinya di Bandung 1927-1945. Di sini Natsir berhasil menguasai infra struktur intelektual untuk senjata dan modal dasar dalam karir politik dan perjuangan masa berikutnya. Penguasaan bahasa asing, ilmu pengetahaun agama dan umum, filsafat serta pergaulannya yang cukup baik terhadap kalangan agama dan politisi, membuat Natsir matang dan menjadi tokoh terkemuka dalam perjuangan kebangsaan, pendidikan dan keislaman.
Fase pengabdian dan kematangan, serta posisinya dalam kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan politik dilaluinya 1945-1958 di Jakarta. Natsir ikut menjadi pasrtisipan aktif dalam memulai debut kehidupan negara dan bangsa hasil Proklamasi 17 Agustus 1945. Sempat menjadi anggota KNIP dan menjadi Menteri Penerangan, Natsir bahkan secara cemerlang ketika negara terpecah dalam RIS berhasil mempelopori mosi integral yang melahirkan Republik Indonesia ke-2 tahun 1950. Tidak terlalu salah, kalau ia diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Soekarno, Presiden waktu itu karena kecakapannya serta sebagai hadiah atas prakarsa mosi integral tadi. Dari 1958 sampai 1966 merupakan bagian dari pasang surut posisi Natsir dalam kehidupan nasional akibat konfliknya dengan Soekarno bersama tokoh-tokoh pro-demokrasi lainnya. Ia rela bergabung dengan PRRI karena ingin mengingatkan pemerintah pusat supaya bertindak adil terhadap daerah. Akibatnya ia bersama tokoh tokoh lain yang beroposisi terhadap Soekarno ditahan dalam penjara.
Akhirnya fase pengabdian Natsir berubah dari jalur politik praktis kepada jalur dakwah (1966-1993). Di tengah-tengah pergulatannya dengan jalur dakwah ini, dia tidak melepas sama sekali tanggungjwabnya di bidang politik dalam makna luas sehingga ia sempat bergabung ke dalam kelompok Petisi 50 yang sangat kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1980-an ketika soal Pancasila kembali menjadi isyu, dalam kaitan dengan dunia pendidikan, Natsir melakukan kritik cukup penting terhadap pengajaran Pancasila di sekolah melalui buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Pada akhir hayatnya, ketika pemerintahan Soeharto sedikit bergeser mendekati Islam, konon ada pendekatan ulang kepada Natsir. Tetapi hal itu tidak bisa mengobat luka lama dalam hati sanubari pejuang dan pemelihara ideologi Islam itu. Natsir yang wafat 7 Februari 1993 ternyata di era reformasi bersamaan dengan berubahnya konstelasi politik, negara dan pemerintahan tetap menjadi inspirasi dan pemandu spiritual sebagian besar kalangan Islam modernis Indonesia. Buktinya beberapa Partai Politik Islam banyak yang mencari akar ideologisnya kembali ke Islam seperti Masyumi yang pernah jaya di tangan Natsir tahun 1950-an.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmas Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante:
Islam dan Masalah Kenegaraan,( Jakarta: LP3ES, 1985. )
Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan DR. H.
Abdullah Ahmad, (Padang: Syamza, 1999. )
Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertaruangan Ideologis Partai-Partai Islam
Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1419 H.)
Anwar Harjono, Dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.)
Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati
Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999.)
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1980.)
Endang Saifuddin Anshari, A. Hassan Wajah dan Wijhah seorang Mujtahid, (Bandung: Firma Al- Muslimun, 1984. )
————, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Rajawali, 1983.)
Hamid Basyaib-Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah?
Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai
Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999.)
M. Natsir, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin ,Capita Selecta, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973.)
—————-, Capita Selecta (2), (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957.)
—————-, Islam sebagai Dasar Negara: Pidato Moh. Natsir dalam
Sidang Pleno Konstituante pada Tanggal 12 Nopember 1957,
(Tanpa Tempat, Nama dan TahunTerbit).
—————–, Demokrasi di Bawah Hukum, (Jakarta: Media Dakwah,
1987.)
Majalah Bulanan Media Dakwah, Rajab 1415/Januari 1995.
Majalah Bulanan Suara Masjid, Pebruari 1993.
Majalah Harmonis, No. 43, Maret 1993.
Mohammad Nahar Nahrawi dalam Seri Monograf Agama dan Perubahan
Sosial, “Memahami Pemikiran-Pemikiran Muhammad Natsir
tentang Islam dan Pembaharuan Masyarakat”, (Jakarta:
Departemen Agama, 1979.)
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara,
1979. )
“Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir” , Lukman
Hakim 1993.
Panitia Buku Peringatan Mohammad Natsir/Mohammad Roem 70
Tahun, Muhammad Natsir 70 Tahun Kenang-Kenangan
Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antra, 1978.)
Siddiq Fadzil, dalam Seminar Pemikiran Muhammad Natsir , “
Muhammad Natsir Ahli Politik dan Negarawan”,
(Kualalumpur: Kerjasama Angakatan Belia Islam Malaysia
(ABIM) dengan Institut Kajian asar Universiti Islam
Antarbangsa, 1993.)
Sahar L. Hasan, Dkk., Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi,
(Jakarta: Gema Insani, 1998.)
Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani,
1999.)
_________________________