Bio-intelektual dan Perjuangan Mohammad Natsir
Kontradiksi Ideologis Soekarno Versus Natsir
(Bagian II)
Oleh Shofwan Karim
Soekarno dalam pembuangannya di Flores, dalam sepucuk suratnya kepada A. Hasan memuji Natsir dalam kegiatan-kegiatannya dalam Persis. (Deliar Noer, 1980:97 ). Persis Bandung sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai tujuan antara lain : (1) melaksanakan berlakunya hukum Islam dan kembali kepada pimpinan Al-qur’an dan Sunnah; (2)menghidupkan jiwa jihad dan ijtihad; (3)membasmi bid’ah khurafat, takhayul, taklid, dan syirik; (4)memperluas tabligh dan dakwah Islam; (5)mendirikan pesantren dan sekolah untuk mendidik kader-kader Islam; (6)menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. (Anshari, 1985:13 ).
Setelah menamatkan AMS (1927-1930), Mohammad Natsir yang semula bercita-cita menjadi Mister in de Rechten (Sarjana Hukum) tidak melanjutkan kuliah ke Fakultas Hukum atau menjadi pegawai pemerintah, padahal ia mendapat tawaran bea-siswa di Fakultas Hukum di Jakarta dan di Fakultas Ekonomi Rotterdam Negeri Belanda.
Perhatiannya tertumpu kepada perjuangan di jalan Allah, fi sabilillah. Di AMS ia berhadapan dengan lingkungan intelektual yang sekuler dan dengan tekun mempelajari buku-buku berbahasa asing. Ia mahir dalam bahasa Latin. Pada mulanya kemampuannya dalam Bahasa Belanda ia agak ketinggalan, tetapi belakangan dengan usaha keras ia berhasil mengusai bahasa ini dengan baik. Oleh karena keterlibatannya dalam gerakan Islam dan politik semakin intensif, maka setamat AMS, walaupun mendapat Bea-Siswa untuk melanjutkan kuliah di fakultas hukum, ia mengurungkan niat itu.
Ia lebih tertarik melihat persoalan-persoalan masyarakat dan politik. Ia bahkan merasa berdosa kalau itu ditinggalkan. Untungnya kedua orang tuanya dapat mengerti penjelasan yang dikemukakannya untuk mengurungkan niat menjadi meester itu. Pilihannya adalah terjun ke dunia pendidikan dan menjadi guru di MULO. Salah seorang muridnya ialah Dahlan Djambek yang belakangan menjadi salah satu tokoh PRRI. Lihat, MBM Tempo, 2 Desember 1989. Menurut Natsir dorongan utamanya adalah karena untuk mengajarkan agama. Itulah mata pelajaran yang dipegangnya di sekolah MULO dan Sekolah Guru Gunung Sahari Lembang. Ia memantapkan dirinya sebagai pengkaji agama dan pejuang agama. Ia tidak memburu uang, tetapi cukup bekerja bersama A.Hasan Bandung sebagai anggota Redaksi Majalah “Pembela Islam” dengan honor Rp.20 perbulan. Ia terus belajar agama dengan konsep belajar agama bukan sekedar Ilmu Tauhid, fiqh, tafsir dam hadist tetapi juga ilmu filsafat Islam, sejarah kebudayaan Islam, pendidikan Islam, politik Islam dan lain-lainnya.
Pada fase ini Natsir mengisi perjuangannya dengan giat di bidang pendidikan, menulis dan berpolitik dengan masuk Partai Islam Indonesia pada 1939. Sore hari ia membuka kursus pendidikan Islam dengan murid awalnya lima orang dengan mengunakan tempat yang dipakai pihak lain untuk kursus Bahasa Inggris. Kursus ini berkembang menjadi Pendidikan Islam dengan menyewa Gedung sendiri di Jalan Lengkong Besar No. 16. Tempat ini menjadi Kampus Pendidikan Islam yang dipimpinnya 1932-1942. Pandidikan Islam di sini terdiri atas empat tingkat: Taman Kanak, HIS, MULO dan Kweeksckool (sekolah guru). Dalam perkembangannya sekolah ini berpindah-pindah sampai sekolah ini ditutup Jepang.
Dalam perjuangan membela Islam ia banyak menulis dalam majalah Pembela Islam.. Pembela Islam No. 1 terbit tahun 1929 dan berhenti terbit dengan No. 71 bulan Mei 1935. (M. Natsir, 1973:430). Selanjutnya ia menulis pula di dalam Al-Manar, Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Ciri khas tulisannya pada masa itu adalah mempertahankan dan membela Islam dari serangan kaum nasionalis dan sosialis, seperti Ir. Soekarno, Soewarni, Sitti Sundari, Dr. Soetomo dan lain-lain. Khusus terhadap Soekarno, Natsir terlibat polemik hangat yang terpenting dan paling monumental adalah tentang agama dan negara. Perdebatan dengan Soekarno terutama berlangsung 1936-1940-an tatkala Bung Karno dibuang Belanda ke Ende di Pulau Flores.
Tesis Soekarno ialah pembelaannya terhadap gerakan sekularisasi-westernisasi Kemal Ataturk di Turki berintikan ide pemisahan agama dari negara. (Suhelmi, 1999:48). Sekitar tahun 1938-1940 itu Sukarno banyak menulis dalam majalah Panji Islam di Medan antara lain berjudul: (1)Memudahkan pengertian Islam; (2)Apa sebab Turki memisahkan Agama dari Negara; (3)Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal-Udara; (4)Islam Sontolojo, dll. Pada hakikatnya isi tulisan Sukarno itu ialah ingin agar dalam Islam ada pembaharuan. Yang dikatakan pembaharuan oleh Sukarno dalam hal ini adalah seperti di Turki yang dilakukan oleh Kamal Attaturk tersebut tadi. Tema pokok yang senantiasa dikemukakan Sukarno berkisar soal modernisme, modernisasi, dan rethinking of Islam (pemikiran ulang tentang Islam). (Ibid, h.429). Selain itu semboyan Soekarno ketika itu adalah soal nasionalisme seperti, “Berjuanglah mencapai Kemerdekaan Indonesia dengan dasar nasionalisme ! Adapun agama adalah pilihan dan tanggungjawab masing-masing diri!.”
Di lain pihak M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tetapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Baginya Islam itu ialah sumber segala perjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan setiap macam penjajahan: eksploitasi manusia atas manusia; pembantrasan kebodohan, kejahilan, pendewaan dan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah suatu langkah, suatu alat yang sudah semestinya di dalam menuju kesatuan besar, persaudaraan manusia di bawah lindungan dan keridhaan ilahi. Sebab itu, Islam itu adalah primair. (M. Natsir, 1973:9).
Semua lontaran Sukarno di atas tadi tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh Natsir dan penulis-penulis Islam lainnya, karena dianggap besar resikonya untuk pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia. Mereka menganggap Sukarno belum tahu dengan sungguh-sungguh duduknya hukum dan hudud dalam Islam, karena Sukarno baru saja mempelajari dan mencintai Islam sebagaimana diakui sendiri oleh Sukarno. Bahwa Sukarno baru saja memeplajari Islam waktu itu, dapat dibaca dalam kumpulan surat-suratnya dari tempat pengasingan Ende (Flores) kepada A. Hasan, Guru Persis Bandung. Surat-surat itu kemudian diterbikan oleh Persis Bandung, 1936.( Ibid :429)
Sumber pengetahuan Sukarno tentang Islam oleh para pembela Islam waktu itu dianggap belum bisa dipertanggungjawabkan karena lebih banyak bersumber dari kalangan non-Muslim yang ditulis dalam Bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Prancis atau bahasa Barat lainnya. Beberapa penulis mengklarifikasi pendapat-pendapat Sukarno itu, antara lain A. Hasan, “Membudakkan pengertian Islam” , dimuat berturut-turut dalam majalah Al-Lisan. Sementara itu Hasbi Ash-Shiddieqy menulis dalam Lasykar Islam Ibid, h.430. Natsir yang mendukung faham kesatuan agama dan negara, mendebat hujah-hujah Soekarno. Natsir menolak idealisasi Sukarno terhadap konsep Mustafa Kamal yang mengajak: “Lepaskanlah Agama dari Negara. Jangan Agama itu diperlindungi juga, supaya Agama itu tidak jadi Agama “kunstmatig”, supaya rakyat bisa menjelmakan idealnya Islam itu dengan ia punya levensstrijd, dengan gerak idealnya ia punya jiwa dan tenaga, ” dan sebagainya.(Ibid:469).
Terhadap pernyataan Sukarno di atas tadi, selanjutnya Natsir berkata:
Kita bukan suka kepada Agama kunstmatig. Barang siapa memperhatikan perjuangan penduduk Indonesia dalam seperempat abad akhir-akhir ini, akan cukup mengetahui, bahwa dalam pergerakan kita kaum Muslimin di Indonesia, sesungguhnya Agama itu adalah sebagian dari levensstrijd kita, baik dalam lapangan sosial maupun dalam lapangan politik. Akan tetapi lihat pula teman-teman kita di Turki sana. Mereka telah berjuang. Mereka telah mendapat kemenangan. Mereka mengaku adalah putera-putera Islam. Tetapi setelahnya mereka mendapat kemenangan dan kekuatan, bukan mereka verwerkelijken cita-cita ke-Islaman mereka, melainkan mereka tindas pengaruh Islam itu berangsur-angsur. ( Ibid ).
Natsir juga mendebat apa yang disinyalir Soekarno berdasarkan sumber dan rujukannya termasuk kitab al-Islam wa Usul’ l-Hukm oleh Al-Syaikh Ali Abdul Raziq. Natsir mendebat argumen Soekarno yang mengutip Abdul Raziq tentang tidak terkaitnya tugas kerasulan Muhammad saw. dan kepemimpinannya terhadap ummat Islam. Soekarno menyimpulkan pendapat Syeikh Abdurrazik: “Rasulullah hanyalah mendirikan Agama saja, tidak mendirikan Negara.” Terhadap pernyataan Soekarno ini, Natsir mengatakan bahwa Soekarno sudah salah memahami tulisan Syekh tersebut. Karena pernyatan seperti itu dalam kitab Arrazik yang asli berbahasa Arab tidak ditemui. Kemungkinan Soekarno hanya membaca kitab Syekh ini yang berbahasa Barat yang salah dipahami. (Ibid:.481-483.)
Polemik Natsir selanjutnya dengan tokoh-tokoh lain di tahun 30-an ini berintikan masalah-masalah nasionalis-islami dan nasionalis-sekuler serta isu Islam serta masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan. Natsir menolak faham kebangsaan sekuler yang berintikan fanatisme bangsa sempit, tetapi ia menerima apa yang dinamakannya sebagai kebangsaan Muslimin yang berintikan cinta bangsa, semangat persatuan, persaudaraan Islam, kesadaran membela muruah dan cita-cita menegakkan Islam. Dalam masa ini M. Natsir menulis berbagai artikel dengan nama samaran A. Muchlis dalam beberapa media seperti Panji Islam dan Al-Manar. Kebanyakan artikel dan tulisannya merupakan tangkisan terhadap serangan dan hujatan Sukarno dan orang yang sealiran dengannya. Di antara tulisan-tulisan Natsir itu berjudul : (1)Cinta Agama dan Tanah Air; (2)Ikhwanusshafa (Mei 1939); (3)Rasionalisme dalam Islam (Juni1939); (4)Islam dan Akal Merdeka (1940); (5)Persatuan Agama dengan Negara.
Selanjutnya sebagai reaksi terhadap pidato Bung Karno yang memberi advis supaya meletakkan agama ke samping dalam pergerakan kebangsaan Indonesia, Natsir mengajukan beberapa popok pemikiran antara lain :
1. Islam bukan semata-mata agama yang mengatur ibadah kepada Allah saja, tetapi meliputi tata cara hidup di atas dunia ini sebagai orang-perorangan, bermasyarakat dan bernegara.
2. Islam menentang penjajahan manusia atas manusia, oleh karena itu umat Islam wajib berjuang untuk kemerdekaannya.
3. Islam memberi dasar-dasar tertentu untuk satu negara yang merdeka dan itulah ideologinya.
4. Umat Islam wajib mengatur negara yang merdeka itu atas dasar-dasar bernegara yang ditetapkan oleh Islam.
5. Tujuan ini tidak akan tercapai oleh umat Islam apabila mereka turut berjuang mencapai kemerdekaan dalam partai kebangsaan semata, apalagi yang sudah bersifat membenci Islam.
6. Oleh karena itu umat Islam harus masuk dan mempekuat perjuangan mencapai kemerdekaan yang berdasarkan cita-cita Islam dari semula. ( MN Nahrawi, 1979: 46 ).
Mulai dari saat itulah Natsir mencanangkan ideologi Islam, nasionalisme Islam dan fundamentalisme Islam serta mengemukakan garis pemisah antara perjuangan kemerdekaan yang berdasarkan kebangsaan oleh Soekarno dan pendukungnya dengan perjuangan kemederkaan dengan cita-cita Islam. Keadaan itu niscaya menjadi renungan Natsir. Berjuang hanya dengan pena dan kata-kata nampaknya tidak cukup. Oleh karena itu Natsir meningkatkan perjuanganya terjun langsung ke dunia politik praktis. Inilah wujud jalur ketiga Natsir dalam memperjuangkan Islam pada masa ini masuk organisasi sosial dan politik. Ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond Bandung dan menjadi ketua 1928-1932. Lalu bersama-sama temannya di Pembela Islam masuk ke PSII dan menyokong partai tersebut yang pada waktu itu di bawah pimpinan Haji Agus Salim dan HOS Cokroaminoto, selanjutnya beliau masuk ke Partai Islam Indonesia (PII) pada 1939.
Polemik Soekarno Natsir akhir 1920-an dan awal 1930-an berlanjut kepada masa berikutnya. Pada sekitar 1940 muncul tulisan Sukarno dalam lima judul dalam majalah Panji Islam yang intinya adalah :
1.Umat Islam harus mengembangkan ijtihad dan menggunakan rasio yang mengarah kepada sekularisasi dan bila perlu melebur diri dalam kebudayaan Barat atas nama modernisasi seperti yang dilakukan oleh gerakan Turki Muda di bawah pimpinan Kemal Pasya atau Kemal Attaturk.
2.Agama harus dipisahkan dari negara dan menyerahkan agama ke tangan rakyat kembali lepas dari urusan negara, supaya agama dapat menjadi subur.
3.Dalam negara demokrasi, meskipun agama dipisahkan dari negara, asal sebagian anggota-anggota Parlemen berpolitik agama maka putusan-putusan Parlemen akan berisi fatwa-fatwa agama pula.
Sebagai reaksi terhadap tulisan Sukarno tadi, Natsir mengemukakan konsepsi negara yang berdasarkan Islam yang nantinya dapat menjamin kebahagiaan umatnya di dunia dan akhirat. Konsepsi itu sebagai berikut :
“Untuk memperbaiki negara harus dimasukkan ke dalamnya dasar-dasar hak dan kewajiban antara yang memerintah dan yang diperintah. Harus dimasukkan ke dalamnya dasar-dasar dan hukum muamalah antara manusia dengan Allah yang berupa peribadatan untuk dapat menghindarkan perbuatan rendah dan mungkar. Perlu ditanamkan di dalamnya budi pekerti yang luhur untuk mencapai keselamatan dan kemajuan (progress). Perlu ditanamkan falsafah yang luhur dan suci, satu ideologi yang menghidupkan semangat untuk giat berjuang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Kesemuanya telah terkandung dalam satu susunan, suatu sistim, satu kultur, satu ajaran, satu ideologi yang bernama Islam.” (Ibid: 49)
NEGARAWAN, POLITISI MEMPERJUANGKAN
ISLAM DASAR NEGARA (1945-1966)
Walaupun mengaku tidak begitu aktif, Moh. Natsir adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan RI. Di samping itu dia aktif menjadi sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) –cikal-bakal IAIN sekarang– yang dipimpin Bung Hatta. Karena itu ia bolak balik Jakarta-Bandung pada tahun 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agusutu 1945, Mohammad Natsir sepenuhnya bergerak di bidang politik dan kenegaraan. Belakangan ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) September 1945.
Pada 30 Oktober 1945, KNIP meningkatkan diri dari Badan Pembantu Presiden menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam rapat 25 November 1945, diumumkan jumlah anggota KNIP mencapai 232 orang. Rapat itu membentuk Badan Pekerja. Moh. Natsir, bersama Sarwono dan Sudarsono diminta Soekarno menyusun anggota BP sejumlah 25 orang. Moh. Natsir diminta menjadi ketua panitianya. Baru ketika Natsir ditunjuk menjadi Menteri Penerangan 3 Januari 1946, ia berhenti menjadi anggota KNIP. (Lihat, MBM Tempo, 2 Desember 1989, h. 54.) Ia menjadi aktivis Masyumi sejak Partai Islam ini dilahirkan 7 November 1945 bersamaan dengan terbukanya kesempatan mendirikan partai-partai di awal kemerdekaan RI dengan Maklumat No X tanggal 3 November 1945.
Pada Kabinet Syahrir I dan II 1946-1947 M. Natsir diangkat menjadi menjadi Menteri Penerangan. Kembali posisi sebagai Menteri Penerangan beliau pegang di Kabinet Hatta 29 Januari 1948. Pada masa ini dia belum mementingkan ideologi Islam dan lebih mementingkan Nasionalisme mempertahankan kemerdekaan. Baru sikap Islam itu di tegakkannya sebagai yang telah dia perdebatkan pada tahun 1930-an lebih ekslusif ketika dia terpilih menjadi Ketua Umum Masyumi tahun 1949 sampai 1958. Partai Masyumi bertujuan menegakkan Republik Indonesia dan Agama Islam. Pada mula berdirinya Masyumi tahun 1945, tujuan partai ini adalah (a) menegakkan Kedaulatan RI dan Agama Islam; (b)Melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Kemudian tahun 1954 Masyumi berasas Islam dengan tujuan: “terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridlaan Ilahi.( Deliar Noer, 1980: 458).
Cita-cita menegakkan Republik Indonesia seperti tujuan Masyumi itu pulalah agaknya yang mendorong Natsir mengambil inisiatif menyusun dan menyampaikan mosi integral pada tanggal 3 April 1950 di hadapan Dewan Perwakilan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu Indonesia terpecah ke dalam 17 negara bagian/federal. Tujuan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu mencapai tujuannya setelah mosi integral itu didukung kawan dan lawannya sehingga Soekarno memproklamasikan kembali negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1950 .
Ada kemungkinan atas jasa mosi integral itu Natsir ditunjuk Soekarno menyusun Kabinet, sekaligus sebagai Perdana Menterinya. Kabinet ini hanya berumur 8 bulan (6 September 1950-27 April 1951). Dilihat dalam ukuran waktu dianggap masa kabinet yang pendek, namun pada masa itu setiap kabinet yang memerintah rata-rata berusia pendek, antara 2 sampai 18 bulan.
Tidak adil untuk mengharapkan prestasi yang terlalu besar dalam tempo yang singkat itu. Namun tidak juga adil untuk menggelapkan sama sekali prestasi Kabinet Natsir. Seperti disebut Herbert Feith dalam The Decline of Constituional Democracy in Indonesia beberapa sukses Kabinet Natsir adalah membawa negara beberapa langkah ke jalan tertib sipil, melaksanakan administrasi rutin, dan meningkatnya produktifitas nasional serta pertumbuhan ekonomi. Menurut Ikhlasul Amal, Natsir sukses memikul beban tugas berat mengembalikan situasi revolusi ke dalam situasi normal dan meletakkan dasar-dasar politik demokrasi. Kegagalan dan jatuhnya Kabinet Natsir, telah menandai awal kemerosotan politik demokrasi di Indonesia. (Lihat, Siddiq Fadzil, Muhammad Natsir, Universitas Islam Antar bangsa: Institut Kajian Dasar, 1993, h. 7.) Kejatuhan Kabinet Natsir boleh dibilang akibat oposisi PNI di parlemen dan tidak mau ikut duduk dalam kabinet Natsir. Faktor kejatuhan kabinet ini termasuk pemboikotan sidang oleh anggota-anggota DPR dalam isu pembubaran Dewan-dewan Perwakilan Daerah, serta sikap konfrontatif Soekarno akibat perselisihan pendapat tentang cara penanganan isu Irian Barat. Di satu pihak kabinet menghendaki Uni Indonesia-Belanda dibatalkan secara bilateral sedang perjuangan mengembalikan Irian Barat merupakan perjuangan tersendiri yang dilakukan terus menerus. Sementara Soekarno menghendaki status Uni Indonesia-Belanda memerlukan peninjauan kembali dan dicari dasar-dasar baru dan sekaligus dikaitkan dengan perjuangan pengembalian Irian Barat sebelum 11 Januari 1951.
Sejak saat itu Natsir keluar dari eksekutif dan semata-mata berjuang di legislatif sebagai anggota parlemen tahun 1950-1958 dan anggota Konstituante 1956-1958 di samping tetap menjadi Ketua Umum Masyumi sampai 1958. Dalam era ini Natsir memfokuskan gerakannya bersama partai Masyumi yang dipimpinnya memperjuangakan Islam sebagai dasar negara. Di dalam sidang-sidang Konstituente tahun 1957 Natsir secara gamblang memperjuangan Islam menjadi dasar negara yang dia maksud.
(Bersambung ke bagian III).